1. Pengertian Metodologi
Istilah “Metodologi” berasal dari bahsa Yunani, yakni methodos dan logos. Methodos berarti cara, kiat, dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan sesuatu. Sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakawala, dan wawasan. Dengan demikian, metodologi adalah pengetahuan tentang metode atau cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian. Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuna yang benar? Untuk mndapatkan pengetahuan itu, kita harus mengetahui metode yang tepat untuk memperolehnya.
Selain itu, metodologi adalah pengetahuan tenang metode-metode jadi, metodologi pengetahuan adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian.[1] Louay Safi mendefiisikan metodolodi sebagai bidang pnelitian ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan dalam mengkaji fenomena alam dan manusia, atau dengan redaksi yang lain,”metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang membenarkan, mendeskripsikan, dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai metodologi ilmiah”. Penelitian ini mencakup penelitian lapangan [field research] maupun penelitian pustaka [library research], bahkan bila ditelusuri lebih luas lagi, penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Karena ada anggapan sebagi sarjana kita bahwa yang dianggap penelitian adalah penelitian lapangan [field research]. Cara pandang pemikiran Louay Safi mengikuti aliran pemikiran Ismail Raji al-Faruqi, seorang pemikir Palestina yang menetap dan menjadi Guru besar di Amerika. Namun, yang penting dari usulan Ismail Raji al-Faruqi adalah pemikirannya dalam menegakkan prinsip-prinsip metologi Islam. Al-Faruqi mengidentifikasikan lima prinsip metodologo Islam yang diungkapkan dengan istilah “lima kesatuan”, yaitu kesatuan Allah, makhluk, kebenaran, kehdupan, dan humanitas.[2]
Secara sederhana metologi adalah ilmu tentang cara. Menurut Ahmad Tafsir metodologi adalah cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini ilmu tentang cara studi Islam. Abraham Kaflan yang dikutip Abuy Sodikin menjelaskan bahwa metodologi adalah pengkajian dengan penggambaran, penjelasan dan pembenaran . berdasarkan pendapat Kaflan metodologi mengandung unsur :
1. Pengkajian (study)
2. Penggambaran (deskripsi)
3. Penjelasan (ekplanasi)
4. Pembenaran (justifikasi)[3]
2. Signifikasi Metodologi Studi Islam
Hingga saat ini umat Islam Indonesia masih banyak yang beranggapan bahwa Islam, agama yang bersifat sempit. Anggapan ini timbul karena salah dalam mengartikan hakikat Islam. Kekeliruan ini terjadi karena pengajian tadi, dan kurikulum pendidikan hanya menekankan pada aspek ibadah, tauhid, Al-Qur`an dan Sunnah. Itupun mengajarkan hanya menurut salah satu madzhab dan aliran saja, jadi identik dengan pengajian Islam.
Pentingnya metodologi juga digambarkan oleh Abouy Sodikin (2000:6) pertam, sebagaimana gagasan awal lahirnya metodologi studi Islam di Pergurun Tinggi Agama Islam. Kedua,usaha untuk menampilkan kembali Islam yang memiliki sejumlah khasanah dan warisan intelektual dari masa lalu samapai sekarang. Dalam istilah Nurcholis Madjid (1995:4) agar dapat menjawab tatangan untuk menampilkan kembali Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kemampuan menjawab tantangan ini , banyaka tergantung kepada pemikiran dan cara berpikir umat Islam tentang agamanya, dengnan pola pikir ilmiah yang Islami. Hal ini tentu mebutuhkan kemampuan metodologis dalam melakukan studi tentang Islam dalam berbagai dimwnsinya itu agar sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Ketiga, ajaran Islam sendiri menuntut dipelajari dan dipahami melalui prosedur yang tepat, yaittu memahami ruang lingkup dan isinya.
Masih berkaitan dengan signifikasi Metodologi Studi islam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok (2000:7:8) menyimpulkan bahwa umat Islam masih didominasi oleh pandangan yang eklusivisme. Suatu pandangan yang menganggap bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama atau madzhab yang dianutnya, agama atau madzhab lain sebagai sesat dan perlu dijauhi bahkan dimusnahkan. Selanjutnya menurut Atang sikap eklusivisme dipandang wajar karena kalangan umat Indonesia dulu dalam Studi Islam tidak sistematis, tidak komprehensif alias tanpa metodologi yang tepat. Tapi apapun penyebabnya perlu ditekankan pentingnya merubah pandangan yang ekstrim dengan pandangan yang bijaksana dan memancarkan rahmat bagi semua. Tetu saja dimullai dari perubaha format dalam studi Islam.
Selanjutnya Atang (2000:8) mengutip pendapat Harun Nasution yang berpendapat bahwa persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari segi etika dan moralitasnya kurang memadai.selanjutnya Atang mengatakan signifikasi Studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan keilmu8an masyarakat Muslim di Indonesia sehingga :
1. Bentuk formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substansif.
2. Sikap eklusivisme dirubah menjadi sikap inklusifisme dan atau sikap universalisme.
3. Melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam masyarakat yang heterogen.
Dengan demikian dapat dipahami, Metodologi Studi Islam adalah prosedur yang ditempuh dalam mempelajari Islam dengan cepat, tepatdan menyeluruh, yakni dari berbagai aspeknyna dan berbagai alirannya. Karenanya MSI mempunyai arti penting dalam menempuh prosedur studi Islam yang dapat mengibah pemahaman masyarakat Muslim Indonesia dari pemahaman semula yang sempit menjadi pemahaman yang luas. Dari sikap yang ekstrim menjadi sikap yang toleran, bijaksana. Sikap toleran tidak berarti akidahnya lemah. Posisi akidah seperti dikatakan Ahmad Tafsir (2008:63) dalam keseluruhan ajaran Islam sangnat penting. Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Pusatnya aialah keyakinan kepada Tuhan. Akidah merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan.
PERKEMBANGAN METODOLOGI dan PENDEKATAN DALAM KAJIAN ISLAM
Terdapat perkembangan yang menarik dalam kajian keislaman di Universitas-universitas di Amerika. Tidak diragukan lagi bahwa perubahan kecendrungan kajian keislaman telah mendorong berbagai upaya untuk merumuskan kembali metodologi yang lebih efektif dalam mengkaji dan menyajika fenomena keagamaan Islam. Hal yang menarik adalah bahwa dalam proses pencarian ini, partisipasi ilmuwan muslim, baik yang telah menjadi warga maupun yang khusus diundang dari negri negri Muslim, diturutsertakan. Hampir setiap universitas yang mempunyai program studi kislaman biasanya mempunyai beberapa ahli Muslim baik sebagai tenaga tetap maupun sebagai Dosen tamu. Hampir semua konferensi dan seminar yang releva dengan Islam dan negri-negri Muslim tidak akan lengkap tanpa kehadiran tokoh ilmuwan Muslim. Sebagai contoh Dr. M. Atho’ Mudzhar telah diundang oleh Standford University untuk menghadiri simposium dan memberikan kuliah serta memberikan sudut pandang hokum Islam dalam forum “Law and Society”, dan UCLA telah mengundangnya untuk menyampaikan makalah tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Menteri agama [Dr. Tarmizi Tahir] ketika berkunjung ke UCLA telah diminta oleh ketua jurusan Islamic Studies untuk memberikan ceramah singkat tentang Islam dan peranan Departemen Agama di Indonesia di depan beberapa Guru Besar, meskipun acara itu tidak direncanakan semula berhubung padatnyna acara beliau hingga harus dilakukansambil minum kopi setelah makan siang. Dr. Nurcholish Madjid juga harus mengorbankan kesibukannya di tanah air untuk member kuliah di McGill University beberapa semester.
Studi tentang Timur dengan pendekatan pokok filologis dan sejarah berakibat pada metodologi yang berkembang dalam disiplin filologis dan sejarah banyak dann terus berperan dalam kajian keislaman hingga saat ini. Pendekaatan dan metodologi ini sering menitikberatkan penelitian naskah dan evidensi historis hingga kemudian produk yang dihasilkannya sering merupakan suatu konstruk ideal dan reprentasi komunitas lapisan atas yang tidak menggambarkan kondisi masyarakat secara umum.
Kesadaran atas hal inilah yang antara lain mendorong pengkajia Islam juga dengan mempergunakan pendekatan disiplin lain yang makin mapan pada awal abad ke-20. Yang paling menonjol adalah penggunaan disiplin sosiologi, antropologi dan etnologi dalam mengkaji masyarakat Muslim tertentu dan menghindarkan suatu kesimpulan yang menggeneralisasikan seluruh umat Islam.
Perkembangan selanjutnya dari dialog saling mengisi ini adalah timbulnya pendekatan intradisipliner, kemudian multidisipliner, baik yang dilakukan oleh peneliti individual maupun sebagai bagian dari upaya kolektif peneliti dengan latar belakang disiplin dan metodologi yang beragam. Contoh dari produk penelitian jenis terakhir ini adalah proyek penelitian yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, ahli terkemuka pemikiran Islam dan Leonard Binder, seorang ilmuwan politik yang yang terkenal, tentang perkembangan pendidikan dan intelektalisme di negri negri Muslim. Menurut Nur A. Fadil Lubis, hampir di setiap pusat kajian keislaman di universitas amerika, contohnya, merupakan program interdepartemental yang komite guru besarnya terdiri dari para ahli terkemuka berbagai jurusan yang fokus kajian dan keahliannya mengenai Islam dan masyarakatnya.
Jadi, perubahan sikap dan pemahaman para pengkaji Islam dalam konteks metodologi dan pendekatan lebih bersifat dialektis melalui pergumulan keilmuwan yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Tentunya, juga berdasarkan perkembangan penafsiran umat Islam terhadaap sumber-sumber ajaran Islam sendiri, karena hal itu dikehendaki oleh sumber ajaran Islam yang senantiasa relevan dalam ruang dan waktu (al-lisan shalih likulli zaman wa makan)
OBJEK STUDI ISLAM
Studi Islam adalah kajian ilmiah yanbg berkaitan dengan Islam, prosedur dalam memahami Islam secara ilmiah. Oleh karena itu yang menjadi objek studi Islam adalah ajaran Islam itu sendiri dalam berbagai aspeknya dan berbagai madzhab alirannya. Ajaran Islam tidak hanya sebatas ibadah dalam arti sempit, tetapi meliputi interaksi social kemasyarakatan.
PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
Perkembangan studi Islam terkait erat dengan perkembangan pendidikan Islam yang membahas kurikulum dan kelembagaannya baik di dunia Islam, dunia barat, maupun di Indonesia sendiri .
1. Studi Islam di Dunia Islam
Menurut catatan sejarah, ada empat perguruan tinggi yang disebut-sebut sebagai kiblat bagi pengembangan studi Islam di dunia Muslim. Pertama, Madrasah Nizhamiyah di Nisyafur. Madrasah ini dibangun oleh Nizham al-Mulkuntuk al-Juwani, tokoh Asy’ariah, da sekaligus guru besar di madrasah ini selama tiga dekade hingga wafatnya. Madarasah ini terdiri dari tiga bagian inti, gedung madrasah, masjid dan perpustakaan. Madrasah ini memiliki beberapa staf, yaitu seorang guru besar yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengajaran, seorang ahli Al-Qur’an, ahli hadis, dan pengurus perpustakaan, yang bertanggung jawab atas tugasnya masinbng-masing.
Kedua, madrasah di Baghdad beridiri tahun 455/1063 yang dibangaun oleh khalifah al-Makmun(813-833 M) yang dilengkapi dengan erpustakaan termasyir, Bayt al-Hikmah. Berbeda dengan madrasah Nizzamiyah di Nisyafur, di Baghdad tidak memiliki masjid. Sebagai madrasah terbesar zamannya, madrasah ini diajar oleh para guru besar yang memiliki reputasi tinggi, seperti Abu Ishaq al-Syirazi,al-Kiya al-Harasi, dan al-Ghazali yang tercatat sebagai pemikir terbesar dengan sebutan Imam al-Ghazali dan pengaruhnya cukup kuat di timur.
Ketiga, Universitas Al-Azhar di Kairo, mesir ini tidak terlepas dari eksistensi Abbasiah-Syiah yang pengaruh kekuatan politiknya mulai melemah. Disinilah wilayah-wilayah kekuasaan daulat Abasiyah segera bangkit di Tunis.
Keempat, Universitas Cordova, pemerintah Abdurrahman I dipandang sebagai tonggak kemajuan ilmu dan kebudayaan di Cordova. Sejarah mencatat bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar di Cordova pada tahun 1120 M yang mendalami geometri, aljabar dan matematika.
2. Studi Islam di Indonesia
Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan lembaga pendidikan mulai dari istem pendidikan langgar, system pesantren, system pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam, hingga munculnya kelas. Pendidikan pesantren dan mdrasah sangat menonjol dalam studi Islam di Indonesia.
Di samping pesantren, perguruan tinggi Islam tentu menjadi sebuah lembaga aling diminati untuk Studi Islam secara komprehensif. Perguruan tinggi Islam di Indonesia, seperti STAIN, IAIN, dan UIN, dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan studi Islam.
Lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut, secara formal, baru direalisasikan oleh pemerintah pada tahun 1950 di Yogyakarta.
Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, orientasi kelembagaan dan kurikulum perguruan tinggi Islam tersebut mengalami berbagai inovasi. Tetapi, inovasi tersebut belum diimbangi oleh ketersediaan dosen ahli dalam bidang ilmunya.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat ilmu:sebuah pengentar popular, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1993)hlm.328
[2] Jamali Sahrodi,Metodologi Studi Islam:Menelusuri Historis Kajian Islam ala Saarjana Orintalis,(Bandung:Pustaka Setia,2008)hlm.69
[3] Supiana, Metodlogi Studi Islam, (Jakarta,2009)hlm.2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar